Ahhhh… Rasanya tak ada apa pun yang dapat menandingi semerbak
aroma secangkir kopi yang baru diseduh di pagi hari. Seolah mengajak pikiran
berkelana menjelajahi trotoar di pusat keramaian Italia, di mana warga Venesia
bercengkerama dengan santai, membaca koran pagi sambil menyesap espreso. Atau
menjelajah New York, di mana warga Madison Avenue yang mengenakan sepatu boot modis
bergegas memberhentikan taksi sambil mereguk frappe. Tapi tahukah
Anda bahwa budaya minum-kopi dimulai oleh kaum muslim?
Para penggemar fabel
mengatakan bahwa konsumsi kopi bisa dilacak ke abad ke-9. Legenda mengisahkan
bahwa seorang penggembala Arab bernama Khalid (atau Kaldi) menggembalakan
ternak kambingnya di kawasan dataran tinggi Kaffa, yang kini dikenal dengan
Ethiopia, ketika ia menyadari bahwa kawanan ternaknya menjadi lebih gesit
setelah melahap semak yang tak diketahui namanya, yang kemudian diberi nama
‘bun’. Dalam tulisan-tulisan yang berasal dari sekitar abad 10, dua orang
filsuf Arab menyebut sebuah minuman yang disebut ‘bunchum’, yang mana para
sejarawan-visioner meyakini bahwa yang dimaksud adalah kopi. Masa antara abad
13 dan 15, seorang Sufi dari tarekat Shadhiliyyah di Arab Selatan mengatakan
telah memperkenalkan bun, yang kemudian dikenal sebagai kopi
arabika, ke daerah yang kini disebut Yaman. Hingga saat ini, kopi masih
disebut sebagai ‘shadhiliyye’ di Aljazair.
Seduhan ini menjadi
demikian populer di kalangan Sufi sebagai pengusir kantuk sepanjang zikir
malam. Kemudian dikenal sebagai ‘qahwa’, sebuah istilah yang hingga kini
digunakan untuk fermentasi anggur. Tak lama kemudian, penggunaan kopi meluas
meliputi seluruh pelosok negeri dan ke banyak wilayah Islam lainnya.
Pelabuhan-pelabuhan di Yaman berkembang pesat sejak perdagangan kopi skala
besar, didukung oleh iklim wilayah tersebut yang ideal untuk pembudidayaan
tanaman kopi. Marco Polo mencatat keberhasilan terbesar perdagangan
wilayah ini, yaitu Mocha, dalam ulasan perjalanannya yang terkenal. Meski ia
sendiri tidak pernah mengunjunginya, dalam perjalanan kembali dari Cina ia
membeli beberapa minuman-seduhan Mocha yang populer itu dari seorang pedagang
di Lebanon.
Dipercaya di kalangan luas
bahwa bangsa Persia-lah yang mengkreasikan ide menyangrai biji kopi untuk
meningkatkan aroma hasil seduhan, sehingga kemudian memperluas popularitas dan
cita rasa minuman tersebut. Banyak sumber yang mengacu kepada Kiva Han sebagai
kedai kopi pertama di dunia. Kedai ini dibuka tahun 1475 di Konstantinopel,
kini Istanbul, ketika kaum perempuan memiliki dasar hukum untuk menceraikan
suami mereka bila gagal menyuplai para istri dengan ‘kahve’ dalam jumlah yang
cukup.
Para darwis dan musafir
menyebarluaskan budaya kedai kopi ke seluruh negeri, termasuk juga ke Mekkah,
di mana kedai kopi berfungsi sebagai tempat publik, sarana umat muslim dari
seluruh dunia untuk dapat bertatap muka dan berdiskusi perihal agama. Salah
seorang sejarawan Arab abad ke-16, Abdul Qadir al-Jaziri, menuliskan bahwa
hampir tak ada sebuah momen zikir atau maulid di Masjidil Haram yang diadakan
tanpa kehadiran kopi.
Akan tetapi, popularitas
kedai kopi yang melonjak serta diperkenalkannya tarian, nyanyian dan diskusi
politik mulai menyebabkan umat muslim menjauh dari aktivitas masjid. Sejarah
mengulas beberapa upaya para politisi dan imam untuk menetapkan kopi sebagai
minuman terlarang yang memabukkan dalam hukum Islam. Terlepas dari upaya-upaya
ini, bagaimanapun juga, kedai-kedai kopi menjadi hal yang tak terpisahkan dari
masyarakat Islam. Seorang gubernur di Mesir, Ahmet Pasha, malahan membangun
kedai-kedai kopi dengan menggunakan dana pemerintah – sebuah langkah yang bisa
jadi mengejutkan bahkan bagi para politisi masa kini yang beraliran paling
liberal perihal fiskal sekalipun.
Baru pada tahun 1570 Eropa
secara resmi diperkenalkan pada kopi, berkat para pedagang Venesia yang
mempelajari tentang potensi komersial kopi dari mitranya, yaitu para pedagang
Afrika Utara dan Timur Tengah. Dari Itali, biji hitam ini menyebar ke penjuru
Eropa. Sekelompok pendeta, yang tampaknya merasa khawatir akan dampak dari
minuman yang menggegerkan jemaah mereka ini, mencoba membujuk Paus Clement VIII
untuk melarang beredarnya ‘minuman kaum muslim barbarian’. Akan tetapi, konon
Paus menolak untuk menerima tuntutan itu secara membabi buta; beliau memaksa
untuk mencicipi ‘minuman penuh dosa’ itu lebih dulu. Tak disangka, ternyata
cangkir perdananya itu membuat Paus terkesan. Alih-alih melarang minuman itu,
beliau malahan mendeklarasikan bahwa kopi akan dibaptis sebagai minuman umat
Kristiani yang sebenarnya.
Ekspansi kekaisaran Ottoman
dan gaya hidup mewah yang mengikutinya berhasil menciptakan citra modern ahwal
meminum-kopi, yang pada gilirannya mendongkrak tingkat konsumsinya. Pada tahun
1669, budaya kopi menyapu masyarakat Paris kelas atas ketika duta besar Turki
untuk Perancis, mungkin akibat lama tak minum kopi, memperkenalkan pesta kopi
yang elegan di tempat barunya.
Di akhir abad ke-17, ‘bar tanpa alkohol’ telah
menjadi hal umum di seluruh Eropa. Pembudidayaan dan pemanfaatan dari
minuman-penyemangat ini seketika menyebar ke barat, ke Amerika Latin dan
kepulauan Karibia. Sedangkan, bangsa Belanda menyebarkan kopi ke arah timur,
mempersiapkan sejumlah besar lahan perkebunan kopi di seluruh daerah koloninya
di Indonesia, terutama di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Mereka mendapatkan
keuntungan besar dari komoditas bernama kopi ini. Hingga kini nama dari pulau-pulau
ini tetap disandingkan sebagai jenis kopi yang berkualitas.
Dari ‘qahwa’ milik bangsa
Arab dan ‘kahve’ milik bangsa Turki Ottoman, kata ‘coffee’ kemudian terserap
dalam bahasa Inggris dari kata ‘caffè’ di bahasa Italia. Berkat peran seorang
penggembala Arab, seorang musafir Sufi, seorang paus dan seorang diplomat
Turki, seduhan-pemberi-semangat ini kini siap untuk disesap, dinikmati dan
sesekali mengajak imajinasi kita berkelana melintasi dunia.
0 Response to "Sejarah Kopi di Dunia"
Post a Comment